BALADA RONGGENG
Di tengah
keheningan malam. Gendang bertalu-talu. Riuh lampu malam semakin memanas.
Sebuah panggung
tidak besar. Sosok perempuan nan jelita. Dengan pakaian khasnya meliuk-liukkan
tubuhnya.
Tepuk tangan
kembali berpadu. Asap rokok terus mengepul.
Mata nakal
mereka terus menatap keelokan penari.
Gendang terus
bertalu. Menghentak pinggul penari menggoda hasrat untuk mendekap. Saweran
terselip di dada dan gendang ikut bertalu..
Demi sesuap
nasi. Ia lakonu kemunafikan ini. Baginya, malam menjadi siang. Siang menjadi
malam. Begitulah kata orang. Ronggeng.
Biar kata orang
sana-sini. Hatinya bersikeras hanya untuk putrinya semata wayang.
Putri yang
senantiasa memberinya cahaya untuk masa depan.
Malam kembali
menghentak. Pukulan gendang semakin kencang. Liukkan pinggul serentak dengan
kesenyapan malam. Matanya sudah tidak kuat untuk mengikuti hentakan gendang.
Tapi, apa daya
demi putrinya. Ia lakukan apa saja. Halal.
Walau sebagian
orang mengganggapnya hina. Namun, ronggeng adalah pekerjaan mulia.
Menghibur orang
yang tengah jenuh.
Palembang, 2012
PENARI
Malam semakin
larut. Suara gendang mengalahkan derik jangkrik.
Sorot lampu
meremang di tengah keramaian.
Mata nakal
semakin menghasrat.
Air matanya
kembali meretas. Tak sanggup ia menahan. Batinnya tersiksa.
Cemoohan.
Hinaan. Ia terima. Tapi, apa daya…
Dengan menari ia
menghidupi keluarganya.
Palembang, 2012
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/puisi-sastra/12/04/19/m2pz20-balada-ronggeng-dan-penari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar