Sabtu, 22 Desember 2012

Puisi di muat di Republika Online 19 April 2012


BALADA RONGGENG


Di tengah keheningan malam. Gendang bertalu-talu. Riuh lampu malam semakin memanas.
Sebuah panggung tidak besar. Sosok perempuan nan jelita. Dengan pakaian khasnya meliuk-liukkan tubuhnya.
Tepuk tangan kembali berpadu. Asap rokok terus mengepul.
Mata nakal mereka terus menatap keelokan penari.
Gendang terus bertalu. Menghentak pinggul penari menggoda hasrat untuk mendekap. Saweran terselip di dada dan gendang ikut bertalu..

Demi sesuap nasi. Ia lakonu kemunafikan ini. Baginya, malam menjadi siang. Siang menjadi malam. Begitulah kata orang. Ronggeng.
Biar kata orang sana-sini. Hatinya bersikeras hanya untuk putrinya semata wayang.
Putri yang senantiasa memberinya cahaya untuk masa depan.

Malam kembali menghentak. Pukulan gendang semakin kencang. Liukkan pinggul serentak dengan kesenyapan malam. Matanya sudah tidak kuat untuk mengikuti hentakan gendang.
Tapi, apa daya demi putrinya. Ia lakukan apa saja. Halal.
Walau sebagian orang mengganggapnya hina. Namun, ronggeng adalah pekerjaan mulia.
Menghibur orang yang tengah jenuh.


Palembang, 2012





PENARI


Malam semakin larut. Suara gendang mengalahkan derik jangkrik.
Sorot lampu meremang di tengah keramaian.
Mata nakal semakin menghasrat.


Air matanya kembali meretas. Tak sanggup ia menahan. Batinnya tersiksa.
Cemoohan. Hinaan. Ia terima. Tapi, apa daya…
Dengan menari ia menghidupi keluarganya.





Palembang, 2012

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/puisi-sastra/12/04/19/m2pz20-balada-ronggeng-dan-penari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar