Sabtu, 15 Januari 2011

Rumahku Di Pelangi Jiwa

        Di sela istirahatnya seorang perempuan sedang duduk termangu. Tatapan matanya hanya tertuju pada sebuah lapangan yang penuh dengan tumpukan sampah. Tak peduli bau di sekitarnya sangat menyengat. Namun, tatapannya tetap tertuju dengan sampah yang kian hari semakin meninggi.
        Tak terasa hampir satu jam, perempuan tua itu mulai menikmati dinginnya semilir angin yang berhembus di siang hari. Sesekali keringatnya yang terus membanjiri tubuhnya di sekanya dengan handuk kecil yang selalu setia menemaninya. Topi capingnya yang berukuran sedang tidak mampu menahan sengatnya mentari di atas kepala. Tangannya yang sedari tadi telah memegang gancu untuk menarik beberapa sampah yang dapat di gunakan dan di letakkan di sebuah keranjang yang saat ini di gendongnya. Namun, di sela kesibukannya mencari beberapa barang yang masih dapat di gunakan. Perempuan itu ternyata juga mengambil makanan sisa yang banyak di buang di beberapa tumpukan tersebut.

        Di petak yang sangat sederhana dan tidurnya pun hanya beralaskan tikar. Perempuan itu tinggal dengan putra semata wayang yang bernama Miko. Putra perempuan itu ternyata sekarang duduk di kelas 4 SD. Betapa bahagianya ketika hidupnya selalu mengalami kesulitan, namun perempuan itu tetap berjuang demi putra semata wayangnya, Miko.
Barang-barang yang berhasil di kumpulkannya sejak tadi siang, di satukan dengan barang-barang yang dapat di jual kembali. Uang hasil penjualannya pun hari ini lumayan dia dapatkan. Tetapi, untuk makan hari ini perempuan itu terpaksa mengambil sisa makanan yang ada di sampah dan di cuci kembali yang memang masih dapat di gunakan.
Sepeninggal suaminya, perempuan itu semakin tegar dalam menjalani hidup dan berusaha mendidik putra semata wayangnya, Miko.

“Emak, belikan aku sepatu baru dong”, Tanya Miko sedikit merengek.
Hati perempuan itu langsung berdesir. Ketika Miko, anaknya minta di belikan sepatu. Karena sepatu Miko sejak kelas dua sampai detik ini belum tergantikan. Karena keadaan ekonomi yang masih belum memadai. Perlahan-lahan, perempuan itu merayu Miko dengan kesabaran yang di milikinya.
“Miko, anakku. Nanti ya, setelah ada uang emak janji akan membelimu sepatu baru”, jawabnya sembari menatap arah jendela dengan rinai hujan yang sejak sore tak kunjung berhenti.

“Janji ya, Emak. Miko, tunggu janji emak”, tanyanya dengan sedikit memberi senyuman.
Sambil menelan air ludah dan menahan rasa lapar demi seorang putranya. Perempuan itu berjalan menyisiri kegelapan malam. Di tengah perjalanan, perempuan itu terdiam. Apa yang harus di lakukannya saat ini?, Tanyanya dalam hati.
“Ya Tuhan, permudahkanlah semua yang telah hamba lakukan saat ini dan berikanlah yang terbaik bagi hamba terutama putraku yang semata wayang. Karenanya ku ingin dia menjadi seorang yang ku banggakan di masa depan nanti”.
                                                                                    ***
        Dinginnya angin malam yang berhembus mulai menusuk-nusuk di sela rusukku. Ku tatap Miko yang telah terbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Rasanya, hati ini tak mampu begitu lemah. Dalam hatinya perempuan itu berdoa, “Ya Tuhan, berikanlah anakku kesehatan, sebagaimana engkau telah memberiku kekuatan untuk mengasuhnya”. Pinta doa perempuan itu terus terucap di sela keheningan malam.
“Emak,,,, Emak,,, Emak,,, jangan tinggalin Miko”, teriak Miko di sela tidurnya yang begitu pulas.
Tanpa sadar, perempuan itu terhenyak kaget. Ketika Miko menyebut namanya di dalam tidurnya.
“Miko, bangunlah. Ada apa manggil Emak?”, tanyanya sedikit heran.
Dari lelapnya tidur, Miko langsung memeluk tubuh Emak. Maafin Miko, Emak yang selalu memaksakan kehendak. Miko, janji tidak akan memaksa meminta sesuatu barang, karena Miko tidak mau kehilangan Emak.
Sadarlah, anakku. Emak, tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun. Emak janji akan selalu menjagamu. Emak, berusaha sedang menenangkan hati Miko yang terus meraung-raung.
Miko yang tadinya memeluk erat tubuh Emak. Pelan-pelan, melepaskannya dari tubuh Emak.

“Emak, saat tidur tadi Miko bermimpi Emak menggunakan pakaian serba putih dan wajah Emak sangat bersih sekali. itu tandanya apa?”, Tanyanya dengan penuh heran.

“Mimpi itu bunga tidur, Miko. Tenang saja, Emak selalu bisa menjaga diri”, tutur Emak sembari mengelus rambut Miko.

Apa ini teguran kecil dari-Mu Ya Rabb?. Andai waktu telah memanggilku secepat ini. Rasanya ku belum mampu meninggalkan Miko seorang diri. Apalagi, Miko tidak ada saudara. Tatapan matanya terus tertuju kepada lapangan luas yang hampir setiap hari di gelutinya. Namun, hatinya selalu tertuju kepada Miko, sang buah hati yang sangat di sayanginya saat ini.
                                                                                       ***
         Sinar mentari pagi cukup cerah, lapangan ini semakin hari semakin menumpuk. Rasanya tak jemu-jemu pandangannya selalu lepas menatap langit yang terbentang begitu indahnya. Guratan-guratan wajah di lapangan terbuka ini semakin hari semakin bertambah. Tak peduli tua ataupun muda, yang penting penghasilan yang di peroleh halal.

Langit sedari tadinya cukup cerah dengan warna yang begitu merona. Kini, nampak gelap gulita. Langit pun pelan-pelan menunjukkan pilar kegelapan. Derasnya air yang membasahi bumi tak di gubris perempuan itu. Tangannya yang memegang gancu dengan keranjang besar yang ada di pungungnya tetap di lakukannya. Padahal, saat itu hujan terus membasahi lapangan terbuka.

Semua orang yang berada di lapangan tersebut berhamburan untuk mencari tempat teduh. Namun, tidak bagi perempuan yang usianya masih setengah baya. Tekad untuk memenuhi kebutuhan ekonominya tetap di lakukannya.

“Dbruuuukkkkkkkkkkkk….. “ suara itu tiba-tiba hadir dan jelas dimana tempat itu sering di gunakan para pemulung gunakan untuk mencari penghasilannya.
Para pemulung yang lain baru tersadar, bahwa sebelumnya tadi di atas lapangan terbuka ada seorang perempuan yang terus mengais mencari barang-barang yang dapat digunakannya. Namun, di lain pihak musibah telah menjemputnya lebih dulu.
“Miko….Miko…Miko”, teriak salah satu tetangga terdekatnya.
“Ada apa, Bu?”, tanyanya dengan penuh keheranan.
“Emak kamu…. Emak kamu… sekarang terjebak dalam timbunan sampah”, jelas Ibu Mida sedikit terbata-bata.
Setelah mendengar berita itu. Miko, hanya bisa terdiam di antara timbunan sampah yang mengubur tubuh Emaknya. Pandangan mata Miko begitu kosong, tanpa sadar air matanya pun mulai membasahi kedua pipinya.
Kedua kakinya yang sedari tadinya kini hanya bisa lemas ketika Emaknya di temukan telah terbujur kaku. Ternyata mimpi itu telah meluluh lantahkan diriku.
“Emaaaaaaaakkkkkkkkk……… kenapa engkau pergi secepat ini?”, teriakku di atas bebukitan sampah yang terus menggunung.
Rasanya tidak adil. Ketika aku belum bisa membahagiakan Emak. Kini, mata bening Emak yang selalu menemani hari-hariku telah sirna.
Rinai hujan yang terus mengguyur ke bumi mulai reda. Senja yang pelan-pelan mulai menjemput peraduan. Mulai mneyiratkan dengan ribuan warna yang bercorak. Warna itu seperti apa yang di harapkan Emak, sebelum kepergiannya.
Ku ingat sekali pesan Emak kepadaku saat itu. Jadilah Pelangi di atas rumahmu, karena dengan hadirnya pelangi hidup itu terasa indah.

Sabtu, 01 Januari 2011

Kembang Api


Langit malam yang sedari gelap
Bermandikan cahaya
Warnanya yang tersiratkan
Hanya mampu tersenyum



Tak ada kata terucapkan
Kecuali memohon keridhoan-Nya
Agar di tahun ini lebih baik
Seperti cahaya yang selalu setia tersenyum
Di antara kerapuhan jiwa



Musi, 01 Januari 2011
00.00