Minggu, 21 November 2010

~ Bias Cahaya Surga ~

Ini adalah Cerpen yang pertama kali saya tulis di Facebook. Biasanya Cerpen ini saya tulis sebagai suatu kepuasan batin diri. Untuk sekarang saya  mencoba mempubliskasikannya di Fecebook. Agar semua teman-teman dapat membacanya dan sekaligus saya tunggu komentarnya. karena buat saya komentar kalian sangat saya perlukan, selain itu juga saya kan terus termotivasi untuk menulis. Jika ada pun dalam penulisan saya kurang berkenan di hati teman-teman. saya memohon maaf. Kepada ALLAH saya mohon ampun.



Ku telusuri jalanan begitu panas teriknya mentari semakin terasa, dahaga tenggorokan ini rasanya tak mau berkurang setelah ku meneguk sebotol airmineral yang dingin.
Tanpa sadar seringkali ku diperhatikan oleh sekitarku, entah apa yang anehdengan diriku saat ini. Ku pandangi dari atas sampai ke bawah perasaan tidakada yang salah.
Tak berapa lama ada seorang Ibu menyapaku, "nak apakah dirimu baik-baiksaja?".
Ku jawab, "baik-baik saja bu".

Ibu, perhatikan dari tadi wajahmu tampak pucat sekali dan matamu berwarna kuning.
Kaget rasanyadiriku ketika di tanya seperti itu. padahal secara fisik tubuhku dalam keadaansehat dan ketika ku pegang dahiku suhu badan pun tidak tinggi. Seperti normal saja hari ini.
Dengan sigap ku berjalan dan berlari kecil menuju ke rumah. Sesampai dirumah tak ada siapa-siapa seperti biasa hanya Mbok Eni yang selalu menyambut kepulanganku dari kuliah. sementara, Ayah dan Ibu selalu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing dan adikku paling bungsu selalu bermain dengan teman-temannya.
"Selalu sepi sekali rumah ini",batinku menangis.
Mbok menyapaku, "kok wajah non pucat, apakah baik-baik saja?".
"Ku baik-baik saja mbok", jawabku.
Hatiku bertanya sudah dua orang hari ini menanyakan tentang keadaanku. padahal ku sendiri tak merasa sedang sakit saat ini.
Tak berapa lama kemudian badan ini terasa lemas ketika sesampai di kamar,ku rebahkan tubuh ini di ranjang yang di tutupi sprei warna biru. Tatapan mataku sempat melayang entah kemana saat ini. Rasanya kosong dan hampa sekali hidup ini.
Ku beranjak sesaat dari ranjang dan ku berdiri di sebuah cermin yangada di lemari kamarku. Pelan-pelan ku memperhatikan tubuh ini dari ujung rambuthingga ujung kaki. Tapi tak ada yang berbeda, hanya tampak wajahku yang lusuh sekali karena belum sempat dibasuh dengan air. Sejenak ku mendekati sorotan bola mataku ini di cermin.
Ternyata betul omongan Ibu dan Mbok Eni tadi ketika bertemudan bertanya bahwa bola mataku berwarna kuning dan wajahku tampak pucat sekali.Padahal tubuh ini tidak pernah merasa kesakitan sekali pun, tetapi yang lebihsering ku alami adalah sakit kepala yang tak pernah kunjung reda.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali, rasanya sakit sekali. Tapi sakititu hanya sebentar saja. Seringkali rasa pusing itu selalu datang disaat takmenentu. Semua orang yang ada di rumahku tak ada yang tahu tentang keadaanku kecuali, Mbok Eni yang selalu memperhatikan keadaan kondisi kesehatanku. Dan lagi pula Mbok Eni selalu menyarankan untuk minum madu dan telur kampung sebelum berangkat kuliah dengan halus ku seringkali menolak minuman itu karenarasanya bakalan aneh, batinku berkata.
Selain itu juga, Mbok Eni mencoba untuk menyarankan periksa ke Dokter Aulia. Kebetulan Dokter Aulia adalah dokter pribadi keluarga yang seringkali dibutuhkan kapan saja.Tetapi ku tak ingin tergantung dengan yang namannya dokter dan obat. Karena semuanya pasti akan meninggalkan dunia ini.
Pikirku sejenak, "Mengapa semua orang harus takut kalau ajal mulai mendekat?".  padahal kan kita di dunia ini takkan ada yang abadi.
Seringkali pertanyaan itu selalu terngiang di pikiranku. Tapi itu sudah kuanggap lumrah saja.


Sore ini cerah sekali, ayah dan ibu sudah pulang dari aktivitasnya masing-masing sedangkan adikku sudah masuk ke kamarnya untuk membereskan semua perlengkapan sekolahnya.Jam makan malam mulai tiba, semuanya terasa hening yang ada hanya suaratelevisi masih menyala.
Ibu bertanya, "Riina gimana kuliahnya hari ini apa lancar saja?".
Ku jawab, "lancar saja Bu".
"Mengapa dari tadi ibu perhatikan wajahmu pucat, apakah kamu sakit?"Tanya ibu.
"Hmm,, tidak apa-apa Bu, rina baik-baik saja kok"  Jawabku.
"Jangan bohong sama Ibu, karena dari sorot matamu ada yang berbeda belum lagi dari cara makan malammu tak seperti biasanya padahal Mbok Eni telahmenyediakan makanan favoritmu"  Tanya Ibu.
"Rina, hanya pusing sedikit saja Bu" Jawabku.
"Selalu saja Rina nih kalau ditanya kondisinya selalu dianggap biasa,takutnya ibu terjadi apa-apa dengan Rina", tanya Ibu.
"Ibuku sayang Rina tidak apa-apa doain saja agar selalu sehat yah",jawabku.
"Ibu selalu doain anakku Rina" ,memandang Rina sembari tersenyum.
Malam terus larut yang ada hanya derikan jangkrik. Ku merebahkan tubuhini. Rasa pusing sejak tadi siang masih belum hilang yang ada semakin sakitbagai ditusuk-tusuk jarum. Ku ingin menjerit tetapi ku tak ingin membangunkansemua orang di rumah ini apalagi sedang beristirahat.
Ku memaksakan mata ini untuk terpejam hingga pagi menjelang. Tetapi sulit sekali untukmemejamkan mata ini, belum lagi rasa sakit kepala ini makin memuncak.
Tak sadar kumenjerit ditengah malam.
"Agggggggggggghhhhhhhhhh,,,, sakiiiiiiiit sekali kepalaku ini". Teriakku.
Tiba-tiba orangyang dirumah sedang berisirahat harus terbangun oleh teriakanku.
Pintu kamarkupun terbuka yang pertama kali melihat kondisiku adalah ibu.
Ibu lalu memelukdan mengelus lembut rambutku dan berbisik untuk bersabar menahan rasa sakit.Tak tersadarkan air mata ibu menetes tepat di kening kepalaku. Ku bilang denganpelan ibu jangan menangis, rina tidak apa-apa.
Cepat-cepat ibu meraihtelepon genggamnya dan mencari nomor dokter aulia untuk segera datang ke rumah
Setelah beberapa saat kemudian dokter aulia telah datang dan segeramemeriksa kondisi kesehatanku.
Dokter aulia pun memberikan obat penghilang rasa sakit kepalaku sementara. Sejenak tubuh inilemas tiada berdaya untuk mengingat kejadian malam itu begitu cepat berlalu.

Paginya, ibu tidak masuk kerja karena kondisiku yang belum pulihsedangkan ayah seperti biasa kembali beraktivitas dan adikku pun berangkat kesekolah.
Ibu memaksakandiriku untuk segera chek-up ke rumah sakit karena ini pesan dokter aulia. Demiibu ku akan lakukan chek-up tersebut.
Sesampainya di rumah sakit, ku menemui dokter spesialis penyakit dalamterutama keluhan rasa sakit kepalaku yang tak kunjung hilang seringkali hanyamenghilang sesaat dan belum lagi bola mataku yang berwarna kuning serta wajahkupucat bagai mayat hidup.
Ku ceritakansemua keluhan penyakit yang kurasakan selama ini. Ternyata dokter memutuskanuntuk segera tes laboratorium dan rontgen yang ada di kepalaku.
Sejenak sambilmenunggu hasilnya. Ku tak sengaja memandangi ada seorang anak yang begitu lucukira-kira usianya hampir sama dengan adikku yang duduk di kelas 5 SD, sedangberbaring lemas di ranjangnya.
Ku sapa dirinya, "hai dik, siapa namanya?" Tanyaku.
"Budi, kakak sendiri siapa namanya?" Jawab adik tersebut.
"Nama kakak rina, kebetulan kakak disini hanya untuk menunggu hasil tessaja dan mengapa adik bisa sampai di rumah sakit ini?" Tanyaku.
"Budi sudah seminggu di rawat rumah sakit ini karena budi terkena sakitkanker otak dan budi harus menjalani operasi dua hari lagi kak", jawabnya.
Betapaterkejutnya hatiku mendengarnya ternyata anak sekecil ini dan masih sangatpolos harus terkena sakit yang begitu parah. Batinku menjerit ketika menjawabsemua pertanyaan itu.
Pelan-pelan ibumendekatiku, "ada apa rina kok melamun sich?" Tanya ibu.
"Tidak ada apa-apa bu, rina hanya sedih saja melihat adik itu karena dalamwaktu dekat dua hari ini akan melakukan operasi kanker otak yang dideritanya",  Jawabku.
"Rina, semua sudah di takdirkan oleh Tuhan. Ini jalan hidup duniawisemuanya butuh kesabaran dan keikhlasan hati",  Sela ibu sambil mengelus rambut rina.
Tak berapa hasil tes laboratium dan rontgen pun keluar. Ku memasuki ruangdokter spesialis dalam. Dengan rasa dag-dig-dug jantung ini terasa berdetaksemakin kencang. Ku memegang erat tangan ibu agar hasilnya baik-baik saja.Dengan pelan dokter membuka hasilnya dan kemudian membacanya dengan pelan.
Dokter memvoniskan kalau diriku ternyata komplikasi penyakit kuning dan kanker otak.
Betapa terkejutnya hatiku, tanpa sadar deraian air mata ku mengalir dan ibu pun begituketika mendengarnya bagai petir disiang hari tanpa ada hujan yang mengguyuri kebumi.
Ibu sangat terpukul ketika ku divonis terkena penyakit yang begitu berat.
Sembaritersenyum ku sapuh air mata ibu dengan belaian tanganku ini.
"Ibu, jangan bersedih dengan apa yang dikatakan dokter tadi yah?",Jawabku sambil menghibur ibu.
"Tapi anakku rina, itu kenyataan pahit dalanm hidup ibu dan itu yang terjadiada pada dirimu?" Ibu tak sanggup melihat keadaanmu yang semakin terpurukapalagi kuliahmu belum tuntas rasanya hati ibu sedih sekali.
Ku beranjak dari ruang dokter tersebut sambil memapah ibu untuk segerapulang dan tidak untuk menceritakan hal ini kepada adikku, kecuali ayahkuseorang dan mbok eni. Tak lupa sebelum ku keluar dari rumah sakit tersebut, kumenyempatkan diri untuk berpamitan kepada budi salah satu pasien yang baru kukenal, agar semoga cepat sembuh dan meraih cita-citanya hingga ke tinggilangit. Walau itu hanya seberkas impian belaka.
Ku hanya bisamenangis batin saja, karena ku tak mau membebani rasa sakit ini kepada oranglain kecuali kepada orang-orang yang kukasihi.
Sambil berpamitan kepada anak kecil tadi, ibu tak henti-hentinya meneteskanair mata dari pelupuk matanya.
Selama perjalanan menuju ke rumah air mata ibu terus saja mengalir takhenti-hentinya. Dengan semangat kegigihan ku berusaha untuk selalu membuat ibutersenyum.
"Ibu, sudahlah jangan menangisi apa yang telah terjadi padaku saat ini?"Tanyaku
"Tidak anakku, hanya engkaulah permata hati ibu saat ini, ibu tak inginkehilangan dirimu dalam sekejap mata" jawab ibu.
Hatikubenar-benar terpukul sejak ku divonis dengan penyakit yang sangat kronis dan kutak tega melihat hari-hari ibuku dengan tangisan dan seringkali melamun.


Saat ini hidupkuhanya tinggal menghitung hari saja. Entah kapan ajal ini akan dijemput tapi dirikutelah siap dipanggil ke Maha Yang Kuasa.
Hari-hariku ku mencoba mengisi dengan aktivitas seperti biasa kuliah danmembantu segala pekerjaan dirumah semampuku.Ibu yang kian hari ku pandangiselalu saja masih terdiam akan kenyataan yang ku hadapi saat ini.
Dengan rasasabarnya ibu selalu memberi perhatian lebih kepadaku untuk tidak terlalu capekdengan aktivitasku selama ini.
Ku jawab, tenangsaja bu selagi rina bisa dengan kemampuan rina akan memberikan yang terbaikdalam hidup ibu.
Tanpa sadar ibu kembali meneteskan air matanya benar-benar tak sanggup.Kusapuh air matanya dengan jemari tanganku ini. Tetapi lama-kelamaan tubuh inisemakin terasa lemah sekali untuk berdiri saja rasanya tak sanggup, yang ada kusaat ini hanya bisa di pembaringan tempat tidurku. Hari-hariku semakin terasadekat dengan kronisnya penyakitku.
Ku berusaha berdoa agar selalu diberi kelulasaan sebelum semuanyaterlambat.
Harapankuterakhir adalah ku ingin sekali menyelesaikan perkuliahanku sampai wisuda danmembuat ibu ayahku tersenyum bahagia sepanjang hari setelah kepergianku.
Di pembaringantubuh ini ku harus mencoba memaksakan diri untuk melakukan aktivitas kuliahseperti biasa walau seringkali ku harus banyak diingatkan untuk tidak terlalulelah dalam kuliahku. Ujian semester tak terasa mulai mendekat karena sudahbeberapa hari ini ku tidak masuk perkuliahan, materi pelajaran pun banyakketinggalan. Tapi dengan giat belajar ku harus mampu menyelesaikan soal ujianitu agar tidak mengecewakan ibu dan ayah.
Lembaran ujian soal pun dibagikan. Ku duduk berada paling awal di urutankedua meja dosen. Dengan tubuh yang lemah ini ku tetap untuk selalu semangat.Satu-persatu lembar soal ujian ku baca dan jawab semampuku tetapi tanpa sadarrasa pusing kepala ini tiba-tiba harus hadir ketika ku menjawab semua soal yangada dihadapanku.
Semuanya gelap, rasanya diriku tak mampu untuk menyelesaikan semua soalujian tersebut. Seluruh ruangan menjadi gaduh, karena tubuhku lemas dan pingsanserta wajah begitu pucat. Dengan sigap, ku segera dibawakan ke rumah sakitterdekat untuk mendapat perawatan yang intesif. Dosen kampus segera mengambilponselnya agar bisa menghubungi kedua orang tuaku agar tahu kondisiku saat ini.
Dengan pelan kumembuka mata ini, tak tahunya ku telah berada di rumah sakit. Tubuh ini sangatlemas tak berdaya sekali untuk berdiri sekalipun selalu roboh. Tangan kanankupun sudah dibalut oleh infuse yang dari tadi terus mengalir. Rasa pusing dikepalaku tetap tak hilang yang ada semakin terasa sakit.

Tak berapa kemudian, dokter datang untuk melihat kondisi kesehatansembari ditemani ibu dan ayahku. Dokter mengatakan untuk segera di operasisesegera mungkin sebelum semuanya terlambat apalagi kanker yang menjalar diotakku semakin terus dipersempit. Selain itu juga, ada dua kemungkinan dalamtahap pengoperasian ini yaitu jika berhasil kemungkinan seluruh anggota tubuhkuakan lumpuh total dan jika gagal maka semua akan sirna.Betapa terkejutnya kumendengar keputusan dokter walau itu terdengar sangat sayup, tapi ku yakinbetul pembicaraan itu dengan ayah dan ibuku. Tak sadar air mata ibu jatuh dipelupuk tangan ku, lalu ku bilang kepada ibu, "mengapa ibu menangis?".
Ibu menjawab, "tidak apa-apa nak, kemungkinan besar dirimu bisa sembuhasal selalu banyak istirahat dan tidak terlalu banyak aktivitas". Ibu berusahauntuk selalu memberi semangat akan kehidupan.
Air mata ibu terus mengalir walau itu sudah ku tahu jawabannya, di lainpihak ayah hanya bisa menatap matanya yang kosong ke arah pandanganku. Ayahingin menangis tetapi itu harus tertahankan karena tak ingin melihat kondisikuselalu terpuruk.
Hari-hariku saatini hanya bisa berbaring di rumah sakit, sesekali teman-teman kuliahkumenjenguk sembari ditemani ibuku. Sejak diriku sakit, ibu tidak pernah bekerjalagi. Hari-harinya selalu menemaniku, sedangkan ayah tetap berusaha memenuhi kebutuhan keluargaku guna membiayai adik dan pengobatanku di rumah sakit.
Sebenarnyadiriku tak sanggup melihat kondisi ayah kian hari harus selalu lembur demikeluarga. Tetapi apa daya jika ini memang telah takdir dan harus di jalanidengan keikhlasan hati.
Kian hari tubuh ini tidak mampu bergerak yang ada hanya meminta bantuandengan kursi roda. Untuk melihat mentari pagi pun ku selalu ditemani ibuseorang. Senyum yang melekat pada diriku tak mampu lagi menunjukkan siapadiriku sebenarnya saat ini. Terkadang hanya bias-bias cahaya selalu hadir dalammimpi tidurku. Agar jangan pernah menyerah dalam sebuah ketepurukan ini.Yangbisa ku rasakan saat ini adalah kehangatan keluarga selalu hadir di sela-selaajal mulai beranjak dan menuju ke surga.
Tetesan air mataku tak tersadarkan terjatuh di pipi, senyumku pancarkankepada orang yang terkasihi. Mereka pun berbalas senyumku. Indahnya panoramaketika mengakhiri rasa sakit yang telah tertahankan pada diriku.
Selamat tingga lorang-orang yang ku kasihi. Mungkin ajalku telah tiba. Malaikat suci telahmenjemputku di pintu surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar