Rabu, 17 Juli 2013

LOMBA MENULIS CERPEN, ESAI DAN PUISI LINGKAR PUISI DAN PROSA – LEMBAGA BHINNEKA


GERWANI:
SUNDAL PERKASA IBU BANGSA YANG MENOLAK MATI?


Momok itu berusia 47 tahun. Perempuan setengah telanjang dengan leher berkalung bunga, rambut terurai acak-acakan, menari dengan dendang “genjer-genjer” , keranjingan di depan tubuh sekarat para jenderal angkatan darat yang kelaminnya disayat dan matanya dicungkil setelah sebelumnya diberondong senjata oleh barisan kader dari partai berlambang palu arit.

 Momok itu hidup panjang di urat nadi kita, setelah film besutan Arifin C. Noor menampilkan Syu’bah Asa dengan bibir pucat, terus-menerus merokok dalam ruangan yang nyala lampunya hanya menyinari tangan, dan mengomandoi gerakan subuh 1 Oktober 1965 dalam perannya sebagai Aidit.

 Momok itu melesak dalam otak kita saat intro lagu “genjer-genjer” yang pernah dipopulerkan Bing Slamet dan Lilis Suryani. Membuat kuduk meremang karena kepala tanpa sadar memutar adegan bocah perempuan, bersimpuh di lantai yang menggenang darah, membasuhkan darah itu ke wajah hingga dada dengan tangannya. Menangis, meraung dan berteriak, “Papi….Papi!"

 Momok itu menolak mati, meski bocah perempuan itu kini telah sanggup menengok makam ayahnya, almarhum Brigadir Jenderal TNI DI Panjaitan, bersama dengan putra Ketua PKI. Di sebuah acara televisi, ia akhirnya bahkan memaafkan dan meminta maaf kepada Ilham Aidit karena merasa sepenanggungan. Ia, bocah dulu yang kini berusia 64 tahun itu, Catherine Panjaitan, bahkan menengok makam ayahnya bersama Ilham, 1Oktober lalu.

 Namun momok itu ternyata tak turut pergi dengan rekonsiliasi anak pahlawan revolusi dan anak pemimpin PKI. Politisasi terhadap tubuh perempuan telah berhasil membuat ingatan terhadap tragedi 1965 menjadi lebih memualkan daripada kelebat kelewang dan penggal kepala dari ribuan orang yang dianggap simpatisan PKI. Dan Gerwani, organisasi perempuan dengan kesadaran politik paling maju yang pernah dimiliki Indonesia, menjadi pusat seluruh umpat.

 Penistaan, pelecehan, penyiksaan dan perkosaan secara seksual terhadap ratusan ribu perempuan yang dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi seolah kemudian menjadi sah karena mereka adalah perempuan “binal” dan para “pelacur” yang menyilet para “pahlawan”.

 Tak peduli bahwa, segera setelah Gestok meletus, Soekarno membeberkan hasil visum dokter RS Angkatan Darat Gatot Subroto yang menyatakan para jenderal itu tak pernah disilet dan dicungkil mata; tak peduli bahwa sejumlah kesaksian telah menyatakan bahwa “tari harum bunga” itu hanya rekayasa tentara yang dibikin di Penjara Bukit Duri; tak peduli bahwa sejumlah bukti menunjukkan para perempuan yang dipaksa menari harum bunga ini adalah remaja yang ditangkap acak di jalan dan disuruh melakukan di bawah tekanan dan intimidasi; ingatan tentang momok perempuan setengah telanjang yang keranjingan di depan tubuh para jenderal itu mengeroposkan otak jernih kita.

 Tubuh perempuan telah menjadi senjata paling ampuh untuk meluluhlantakkan salah satu gerakan politik yang termaju pada masanya. Maka, di Monumen Pancasila Lubang Buaya, Soeharto merasa sah mengekalkan tari harum bunga itu dalam relief. Dan seperti jamaknya dongeng, seorang pahlawan berparas rupawan muncul sebagai penyelamat di zaman yang galau. Mengusulkan “pertobatan” bagi para perempuan “binal” ini lewat peran sebagai ibu yang asih. Relief di monumen yang kukuh berdiri hingga hari ini itu, mengukir citra perempuan “utama” dengan kebaya rapi, rambut bergelung konde, dan mendekap si buah hati. Tubuh perempuan harus “disucikan” untuk sebuah misi penyelamatan. Dan obsesi terhadap tubuh perempuan terus mendominasi politik negeri ini, bahkan setelah Soeharto pergi dan rezim berganti. Puluhan perda yang sibuk “mengurus” tubuh perempuan muncul dari Aceh hingga Sulawesi. Para politikus negeri ini yakin bahwa Indonesia akan beres dengan “mengerangkeng” tubuh perempuan dan menambah jam pelajaran agama.

 Tapi saat Putri, remaja usia 16 tahun, akhirnya mati menggantung diri di kamar tidurnya di Lhangsa karena malu jadi korban sweeping semena-mena polisi Syariah, agaknya kita perlu katakan cukup untuk seluruh absurditas ini. Yang mati di negeri ini bukan semata tubuh, tapi spirit pengharapan. Dan jika harapan mati, maka yang menyusul kemudian adalah amuk. Lalu kita akan menyaksikan ulang sejarah gelap itu, tubuh-tubuh tanpa kepala yang memenuhi kali, saudara sekandung yang berhak dihabisi atas nama ideologi, dan kamp-kamp konsentrasi yang membikin jeri (Sumber: SHNews.com, Sinar Harapan Online, Rabu 3 Oktober 2012)

Ketentuan Lomba

  1. Ketentuan Umum

1. Lomba dibuka untuk umum (WNI/WNA) dan naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia.
2. Peserta telah bergabung dalam grup Lingkar Puisi dan Prosa – Lembaga Bhinneka dan twitter @LembagaBhinneka.
3. Tema lomba adalah GERWANI. Waktu pengumpulan naskah : 1 Juni 2013 (00.00 WIB) – 17 Agustus 2013 (Pukul 20.00 WIB)
4. Peserta wajib menyebarluaskan informasi lomba ini dengan men-tag minimal 10 teman.
5. Peserta hanya boleh mengikuti dua jenis lomba dan mengirim satu naskah terbaik.
6. Karya merupakan karya asli bukan saduran dan belum pernah dikirim dan diikutkan pada lomba atau media massa atau blog.
7. Peserta mengirim dua file dalam satu email. File pertama berupa naskah yang diikutkan dalam lomba. File kedua berisi biodata narasi.
8. Naskah dikirim ke email Lembaga Bhinneka lingkarpuisiprosa@gmail.com dalam attachment dengan subjek Nama-Judul-Jenis Lomba (C/P/E).

  1. Ketentuan Khusus
Cerpen

1. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin 4-4-3-3 (Kanan-Atas-Kiri-Bawah), jenis huruf Times New Roman 12 (tidak ada perbedaan jenis dan ukuran huruf dalam bagian naskah) dan spasi 1,5.
2. Panjang naskah 4-10 halaman.

Esai (ini saya edit, karena dalam KBBI nggak ada kata ESSAY, ada juga ESAI)
1. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin 4-4-3-3 (Kanan-Atas-Kiri-Bawah), jenis huruf Times New Roman 12 (tidak ada perbedaan jenis dan ukuran huruf dalam bagian naskah) dan spasi 1,5.
2. Panjang naskah 1-8 halaman.
3. Naskah dilengkapi dengan daftar referensi bila naskah berisi data atau teori.

Puisi

1. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin 4-4-3-3(Kanan-Atas-Kiri-Bawah), jenis huruf Times New Roman 12 (tidak ada perbedaan jenis dan ukuran huruf dalam bagian naskah) dan spasi 1,5.
2. Panjang naskah 2 halaman.

Pengumuman Hasil Lomba dan Hadiah
 Hasil lomba akan diumumkan pada tanggal 1 Oktober 2013
Juara 1 : Rp. 400.000,00 + Buku Antologi Amarah
Juara 2 : Rp. 200.000,00 + Buku Antologi Amarah
Juara 3 : Rp. 100.000,00 + Buku Antologi Amarah
15 Naskah terbaik dari setiap jenis lomba akan diupayakan untuk dibukukan atau dipublikasi di website lembagabhinneka.org

 Selamat berkarya!
 LINGKAR PUISI DAN PROSA – LEMBAGA BHINNEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar